In my previous attempt, I crossed topview ranchu (Andou line) with wakin. I called the offspring Kinranshi since they looked similar to the Kinranshi goldfish type I saw in a book. I already made a post about that project.
Now, to move the project forward, I crossed the Kinranshi back to topview ranchu. I used three lines such as Andou, Kudou / Murakami (the seller was not sure about the line of this particular fish), and my own line (forgot to record). The results are varied. They are not yet conformed to the standard of topview ranchu, so I called them Kinranshi version 2.0.
Some of them are thin and long, some have thickness on their backbone, and some are shorter. Some have collapsed tail and some have wide-spread tail. The head growths are also varied. I am glad to see these rich variations. It triggers my imagination how to direct the next development of them.
Itu pertama kali aku jatuh cinta pada kehidupan di dalam air!
Pamanku, yang waktu itu masih muda, punya piaraan baru. Ia mengajakku datang melihat-lihat piaraannya itu. Di lorong sempit yang dia jadikan taman itu, aku melihat sebuah jedingan bekas copotan dari kamar mandi yang dijadikannya tempat memelihara ikan. Wadah dari semen itu sebenarnya kecil saja, tapi bagiku yang belum genap berusia sepuluh tahun, jedingan itu terasa besar sekali. Aku melongok ke dalamnya dan tiba-tiba aku menemukan sebuah dunia lain. Sebuah dunia yang begitu bening! Aku bisa melihat pasir hitam yang ada di dasarnya. Ikan-ikan kecil beraneka jenis sibuk berenang di antara beragam tanaman air yang ada di dunia lain itu. Ada yang berkejar-kejaran, ada yang sibuk mencari makan di sela-sela daun atau di dasar, dan ada pula yang bersembunyi di balik bebatuan mungkin sedang bermain petak umpet dengan temannya. Seakan ikan-ikan itu tidak peduli pada kisah dan keluh kesah dunia manusia. Mereka punya kisah mereka sendiri. Berbagai perasaan berkecamuk dalam jiwa kecilku. Aku belum pernah merasakan kesegaran seperti ini. Pada saat itulah, aku jatuh cinta pada kebeningan itu.
Aku belum mengerti tentang ikan pada waktu itu. Bahkan aku sempat menanyakan ini ikan air laut atau air tawar. Pertanyaan yang bodoh, mana mungkin guppy, neon, dan platy dipiara di air laut! Aku ingat pamanku menangkap seekor ikan gepeng transparan untuk ditunjukkan padaku. Namanya ikan kaca, katanya. Ikan tersebut bening seperti kaca, sehingga kelihatan tulang-tulang badannya. Tidak ada ikan koki di sana. Perjalananku sampai mencintai ikan koki masih panjang.
Singkat cerita, setelah aku lulus kuliah, aku tinggal di surabaya. Orang tuaku membelikanku sebuah rumah. Aku beruntung memiliki seorang ayah yang merasa kewajibannya baru selesai jika sudah menyediakan sebuah usaha lengkap dengan modalnya dan sebuah rumah bagi anak2nya. Aku bersyukur mendapatkan rumah itu, tapi aku tetap mengajukan syarat. Aku minta ada kolam di rumah itu. Ayahku mengerti. Dari kecil aku selalu minta seperti itu. Dahulu sepulang dari rumah pamanku pada pengalaman pertama jatuh cinta pada dunia dalam air, aku minta dibelikan ikan. Akhirnya, ketika penjual ikan pikulan lewat, aku dibelikan. Piara di mana? Di ember seadanya. Tak berapa lama ikan tersebut mati. Lalu suatu kali aku pulang dari gereja melewati pasar Splendid di Malang di mana orang menjual ikan berjajar-jajar. Di sana aku melihat ikan-ikan yang lucu dengan warna dan sirip yang menarik! Aku bertanya, ikan apa itu? Oh, itu ikan mas koki, kata penjualnya. Lucu sekali! Aku pulang dengan tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan ikan-ikan tersebut. Maka dimulailah perjalanan cintaku dengan ikan mas koki. Lambat laun, melihat aku suka memelihara ikan, papaku membelikanku sebuah aquarium kecil, yang karena tidak ada raknya, ditaruh di lantai. Aku suka tidur di lantai di depan aquarium itu sambil memandangi ikan-ikan mas kokiku. Aku rajin mengurasnya, bahkan pernah membuat ayahku marah karena aku memilih malam-malam menguras aquarium ketimbang belajar untuk ulangan sekolah besok.
kenangan ikan mas koki mutiara masa kecilku
Aquarium kecil, berubah menjadi aquarium besar. Semua pekerjaan menguras aku kerjakan sendiri. Aku ingat ikan favoritku adalah mutiara ekor panjang yang pernah kulukis. Sampai sekarang kental sekali ingatanku akan ikan itu. Aku juga pernah punya oranda yang warna merah dan putihnya cemerlang sekali! Entah pikiranku yang membesar-besarkan keindahannya atau memang ikan seperti itu pernah ada, sampai sekarang aku jarang melihat warna seindah itu. Padahal belinya di pasar ikan murah-murah. Ketika ayahku mendapat rejeki dalam bisnisnya dan bisa membangun rumah baru, ia membuatkan sebuah kolam untukku. Itulah pertama kalinya aku punya kolam sendiri. Waktu itu aku belum mengerti tentang filter, jadi kolam itu tidak memiliki filter sama sekali. Dan setelah aku lulus kuliah, bekerja di Surabaya, diberi hadiah sebuah rumah, aku pun membuat sebuah kolam juga di rumah baruku. Agaknya aku tidak bisa hidup tanpa kehadiran sebuah kolam.
Namun aku mengalami masalah.
Kolamku keruh. Sekeruh pikiranku pada saat itu.
Sudah kuupayakan segala cara yang aku bisa, tetap saja demikian. Aku sampai merasa putus asa. Setelah aku kuras, beberapa hari kemudian keruh lagi. Apakah ikan koki tidak boleh dicampur dengan ikan manfish? Rasanya bukan karena itu. Tiap hari aku lihat, apakah debu-debunya sudah mengendap dan kolamku sudah menjadi bening, tapi tak kunjung bening juga.
Kebetulan pada saat itu aku baru lulus kuliah. Ketika aku melihat masa depanku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Keruh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dalam hidup ini. Aku tidak tahu bisnis yang diwariskan oleh ayahku ini apakah bisnis yang tepat untukku. Aku tidak tahu apakah pacarku ini calon istri yang tepat untukku. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu! Semua terasa begitu keruh! Aku berusaha menenangkan diriku. Aku mencoba mengendapkan semua debu pemikiran itu dalam batinku. Tapi dalam ziarah ke dalam itu, aku hanya menemukan sebuah kolam butek. Bertahun-tahun aku dalam kondisi seperti itu. Oh, betapa inginnya aku lari mencari kolam jedingan yang kulihat di masa kecilku itu dan duduk menikmati kebeningannya lagi! Mungkin dengan begitu semua kekeruhan dalam batinku akan berangsur-angsur menjadi jernih. Mungkinkah kekeruhan hatiku membuat kolamku tidak bisa bening?
Aku terus berdoa. Aku terus memohon. Aku meminta batin yang bening dan pikiran yang jernih. Aku ingin dibebaskan dari rasa keruh hati ini. Aku pegang ayat yang mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan. Maka aku membaca banyak buku, mengikuti banyak seminar, dengan harapan bahwa aku akan menemukan kebenaran itu. Capek sekali hidup dalam kondisi keruh batin!
Suatu saat aku browse internet, yang mana itu masih sebuah luxury di jaman itu. Aku menemukan artikel tentang sistem filter yang menirukan filtrasi di alam. Aku sangat tertarik. Dan aku mulai menerapkannya. Alhasil, kolamku pun menjadi bening! Aku harap ada suatu sistem atau cara seperti itu yang bisa kulakukan dan membuat batinku pun menjadi bening.
Dalam kehidupan pribadiku, aku belajar untuk jujur pada diri sendiri. Aku menuliskan pikiran-pikiranku, perasaanku, dan apa saja yang ada dalam diriku dalam berlembar-lembar kertas dan berhalaman-halaman microsoft word. Aku harap ini membantuku menjernihkan pikiranku. Setiap akhir tahun aku melakukan tulisan refleksi atas diriku sendiri, dan membuat rencana-rencana pribadi. Dan seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal menjadi jelas bagiku. Sekarang, meski pikiran dan batinku belum sejernih dan sebening kristal, namun sudah banyak bagiannya yang menjadi terang. Dan aku bersyukur untuk itu. Sampai tahap tertentu, aku telah menemukan kebebasan jiwa.
First, it is useful to categorize female fishes into four categories: very productive, normal productive, and less productive, and infertile. In the case of a very productive fish, we do not need to do anything and the fish will lay eggs by its own everywhere and anywhere. Even when there is no male partner, it will lay its eggs. But most fishes fall under the category of normal productive, which will usually lay eggs in a comfortable environment with the presence of male partner. The problem arises when we have the less productive fishes. We need tricks to induce the spawning. In the case of the infertile fishes, nothing can be done. The infertility can be of two kinds: the fish cannot lay eggs, or the fish can lay eggs but the eggs cannot hatch. So, our focus is how to induce spawning in the less productive fishes, which of course the tricks will also applicable to the normal productive fishes.
Basically, I use two ways to induce spawning: to make the fish comfortable or to make the fish uncomfortable (or introduce changes). I will try the first method before considering the second one.
I live in the tropical area, so my methods might not work for other areas. Each breeder need to find his / her own ways in the two frameworks.
If we use biological filtration pond or tank, then the fish will be comfortable in a mature filtration. If we use water change method, then it is better to have a routine schedule. Male partners should be present. Outdoor or semi outdoor environment will be good since it is in accordance with the fishes’ internal clock. Enough sunlight. Introduce plants. Do not feed with growth pellets or tubifex worms. Feed with wheatgerm-based meal. Use live food such as frozen bloodworm and daphnia. Mosquito larvae is a superb food for this purpose. Normally, these actions will suffice to induce breeding. The fishes will mate at around 5 am. It is an advantage to be in the tropical area that I do not need to take into account the winter season or the water temperature.
For the less productive fishes, to make it comfortable, we can introduce a productive female one in the tank. After the productive one lay eggs, we can remove her. We can hope that the less productive one will follow to lay eggs.
Another way to make her comfortable to spawn is to put bricks or clay pots in the pond. Somehow it is believed that the smell of the soil can induce the fish to breed. I do not know how true it is, but I sometimes use this method combined with other ways.
If the comforting methods do not work, we might consider to make the fish uncomfortable by introducing change / surprise. Why uncomfortable methods might induce breeding? I read it somewhere that in the presence of death the fish might naturally think she need to lay eggs to preserve her descendants. So, the change might make the fish think she is going to die (smile). The mild measure in introducing change includes moving the fish from indoor to outdoor. Or if the fish is kept in outdoor, put her for several weeks indoor before moving her to outdoor again. We can also play with the water temperature. Try to keep the fish in a colder temperature for several weeks, then move to a warmer environment. Total water change can also be a surprise to the fish. Drastic water parameter change might be introduced also, mimicking the rain fall. Fasting (deprived of food) and then pumping the fish with good food can also be tried.
A more risky way that I sometimes use it to lay the fish in insufficient water level. This is the way I do it. As I make a total water change, when I fill the tub again, I put the fish in when the water level is still insufficient to submerse her. So the fish will be a bit stressful for a minute or two for lacking water, but will not be hurt / damaged. It is enough to make her think she is going to die for a while. This is the most extreme measure I take. But I seldom use it and I only use it for a hard case.
The breeding can also be induced by injecting substances such as Ovaprim to the fish. But I do not use this method.
These are the methods I use to induce spawning. My methods are simple. I am sure there are many more advanced and creative ways. I will encourage the readers to explore and to share their ways.
Basically, how we feed our goldfish is determined by our purpose of keeping. Some people might just want to keep goldfish for relaxation. What they want is their fishes to enjoy a healthy and long life. They do not bother much about pumping up the size of their fishes. For such people, feeding the fishes with staple /maintenance pellets once or twice a day will be sufficient. The fishes might not grow or might grow slowly, but the fishes will enjoy many years of happy life.
Some want to be the best groomer of their fishes. They wanted their fishes to grow in size (and shape) in no time. For these people, their purpose might be achieved by a heavy feeding such as six times a day, or even ten times a day, with growth pellets which contain high fat and high protein contents. Live foods such as tubifex worms, silk worms, might sometimes be used also.
Fish pellets can usually be categorized into three types: maintenance pellets, growth pellets and color enhancer pellets. The maintenance type is used as daily food with sufficient nutrients for the fishes. The growth type is used to foster the fast growth of the fishes. The color enhancer one is used to improve the red color and the shiny scale of the fishes.
As for me, since I am an experimenting with breeding, so my main purpose is to feed the fishes with foods that will induce them to breed. My feeding consists of pellets and live food. I use the wheatgerm-based pellets to induce spawning. The wheatgerm-based pellets can be categorized as maintenance diet type since they do not contain high fat and high protein, but sometimes can be categorized also as growth pellets since they help the fish to grow by optimizing the digestive systems. This quality of improving the digestive systems will improve the productivity of the female fishes. I also use live foods such as frozen bloodworm and live / frozen daphnia since they will induce breeding. Another excellent live food that can induce breeding is the mosquito larvae, but I do not usually use them. Tubifex worm and growth pellets are absolute no for the female parents.
My breeding activity dictates that I must grow the fries also. All good quality goldfish should grow thick backbone early as a foundation for life. Without it, they will have trouble swimming as their age matures. So, when they are young, I give them live daphnia and growth pellets grinded as fine as flour. As they are growing, I introduce frozen bloodworm and growth pellets. I used to use tubifex worms, but for the sake of convenient, I do not use it at present. I continue to give this diet to fishes that need to grow headgrowths such as oranda and ranchu. I employed heavy feeding for them. But for fishes that does not need to grow headgrowth like tosakin or butterfly, I switch to wheatgerm-based pellets only and do not employ heavy feeding to induce the growth of their tail with less feeding. My young fishes eat this diets until the age of roughly four months, where they started to breed. It is too early to breed them at that age, but I do not want to damage their productivity, so I mixed their diets with mainly wheat-germ based pellets. When they are ready to breed, at the age of six months and above, their diets consist of wheatgerm-based pellets and frozen bloodworms. The growth pellets and daphnia are provided once in a while. Only for fishes that I want to grow into big sizes I pump them up with growth pellets and frozen bloodworm.
After marveling and experimenting with the tricolor oranda for some times, I began to think about creating ranchu with such coloration. This specimen I am thinking of has been seen in Thailand, so it will not be a surprise that it will become available in the market in the next one or two years. It is still rare today, though. Instead of waiting them to be available in the market, I think it will be more satisfying for me to create one of my own. When I succeed, perhaps it will not be rare anymore. But it will still be a pride for me.
The first thing I did was to cross my tricolor Oranda with a ranchu. I did not think carefully about what ranchu would be best to use at that time. This might be my mistake. I did not remember it well, perhaps I used blue ranchu since they were abundant in my pond or grey ranchu which carries the recessive blue ranchu gene since I made many crossing using blue ranchu. The results were all grey fish (wild color) with predictable defects on the dorsal.
My plan was to do the F1 x F1. I was certain that I would get several tricolor fish with defect dorsal. I did not expect to get a smooth ranchu back curve at that stage, which was reasonable. What surprised me was that I got some blue offspring. It made the project complicated. I should use pure red or red-white color, instead. But it had happened. I sorted out all the blue. I kept only the grey color, in the hope that some of them will turn into tricolor. I purposely rejected the fish with full dorsal and kept only the ones with defected dorsal. Yet, I must admit, those fishes with perfect dorsal were cute. Some of them resemble Yuan Bao. I could not help to keep one of them alive. Here is the lucky guy:
The second surprise I got was that the expected tricolor never appeared. I waited for four or five months, and these F2 were still grey. I lost hope in them turning into tricolor or any other color. I realized that this was a failure.
But I did not give up. I started the project still using the same F1. But this time I did not do F1 x F1. I crossed the F1 back to the tricolor Oranda! I expected this move to produce a better chance of having tricolor fish. Yet, I worried about the shape turning back into fishes with full dorsal. So, I tried to keep all the offspring alive as many as possible till I could see the dorsal clearly. Thank God, I ended up with enough defect dorsal fishes. They look like this:
And yes, I faced the same problem again. I have kept them close to four months right now and the majority are still grey! I could not explain this. Yet, this time I am lucky to have two fishes mutated into tricolor! Some more mutated into red-white fish with no trace of melanin – I will wait for a little while for them since sometimes the melanin can appear again.
From the two tricolor I get, one has minimal black pigmen. She will be used as my plan B. She looks like this:
But the other one has a lot of black pigment and the color looks strong! I don’t mind about the lack of red color. Tricolor usually comes in either tricolor or panda color. No problem for me. This fish will be my main parent fish. This is the beauty:
My plan is to mate her with ranchu again. And the new F1 will be crossed back to its mother. The new F2 will be a tricolor fish that looks closer to ranchu, yet with imperfect back curve. I will need to repeat the whole two step process again to create a better quality of tricolor ranchu. So, the total time I need from now will be four generation, or approximately two years. Well, I think I will just enjoy the process.
Sewaktu kecil, ketika uang jajan pas-pasan, mampir ke toko ikan dengan perasaan minder. Ikannya bagus-bagus, tapi duit di kantong tidak memadai. Apa daya. Jadi saya lebih banyak ke toko ikan untuk berkunjung saja, melihat-lihat, tapi tidak beli. Untung pemilik toko ikan di Jl Bangka, Malang, waktu itu sabar. Orang dipersilahkan datang, minim tegur sapa, dan tidak beli pun tidak apa-apa.
Saya juga pernah menjadi pembeli yang aneh. Di sebuah toko ikan yang lain, yang sekarang sudah tutup, saya melihat burayak ikan koki ditaruh di aquarium di sebuah rak bagian bawah. Ikan koki di toko itu mahal-mahal, jadi sebagai seorang bocah yang naif, saya berpikir burayak-burayak itu pastilah akan menjadi ikan yang bagus. Karena itu saya berniat membelinya dengan penuh harap harganya tidak mahal. Tapi sang pemilik toko mengatakan itu tidak dijual. Dia tidak tahu burayak 1 cm mau dihargai berapa. Tapi sy terus menerus merayu dia. Saya yang membuka harga. Saya berikan uang jajan saya seminggu untuk membeli 1 ekor burayak tersebut. Mungkin karena merasa terganggu, akhirnya ia menjual satu ekor burayak koki kepada saya, anak kecil yang rewel ini. Saya senang sekali. Burayak itu saya taruh kolam bersama koki2 saya yang lain. Besoknya, burayak itu sudah lenyap.
Ketika saya dewasa dan memulai karir di Surabaya, saya kembali mulai berburu ikan mas koki. Saya mencarinya di iklan jitu koran Jawa Pos. Mendatangi rumah-rumah pedagang sambilan itu membuat hati deg-deg an juga. Harga ikannya mahal-mahal. Dan saya merasa dinilai oleh penjualnya, orang ini punya uang atau tidak. Jika saya memberi kesan tidak mampu beli, sikap mereka menjadi ketus. Biasanya saya tidak datang lagi ke tempat mereka. Hanya kepada penjual yang saya merasa cocok, yang enak diajak ngobrol dan tidak menghakimi, saya bisa menjadi langganan.
Akhirnya itu menjadi kebiasaan saya dalam bertransaksi. Kalau merasa tidak cocok dengan karakter seorang penjual, ya sudah, diam-diam saja menjauh. Saya pikir saya tidak rugi apa-apa. Malah penjual itu yang rugi karena kehilangan calon pembeli masa depan.
Calon pembeli masa depan? Iya. Bukankah kondisi selalu berubah? Seseorang yang hari ini tidak mampu beli ikan, suatu saat bisa jadi mampu. Jika penjual sudah mengusirnya pada waktu dia tidak mampu, bukankah berarti ia sedang menutup masa depannya dari rejeki? Tapi meski seseorang berkelakuan aneh (seperti saya waktu kecil) atau tidak mampu beli saat ini (seperti sy juga dulu) namun tetap dilayani dengan baik, tetap dimaklumi, tetap dijadikan kawan, suatu saat mungkin ia bakal beli, atau menjadi customer besar.
Hanya sekali saya marah. Waktu itu ikan yang saya ingin beli, dikatakan tidak lagi dijual. Tapi jika saya benar-benar menginginkan, maka akan dipertimbangkan untuk dijual. Kesan saya waktu itu, saya disuruh mengemis-ngemis dahulu untuk diijinkan membeli ikan itu. Saya marah besar. Dalam bahasa Jawa saya berteriak “ga tuku iwakmu ga patek-en.” Tapi dalam hati saja saya mengatakannya. Yang pasti, saya putus hubungan dengan penjual itu untuk seterusnya.
Ketika saya makin menekuni breeding, mau tak mau saya harus menjual ikan saya juga. Kalau terlalu banyak, mau diapakan lagi selain dijual? Jadi saya juga berada dalam posisi sebagai penjual. Memang pengalaman sebagai pembeli itu membekas dalam hati. Saya tidak ingin memperlakukan pembeli seperti saya diperlakukan oleh penjual-penjual yang ketus dan sok. Saya merasa calon pembeli berhak mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang ikan yang mau dibeli. Calon pembeli juga berhak untuk tidak cocok / tidak jadi membeli. Yang pasti, saya akan melayani mereka dengan ramah. Jika mereka tidak membeli sekarang, mereka tetap adalah calon pembeli saya di masa depan. Mengapa saya harus menutup pintu masa depan saya hanya karena mereka berlaku aneh atau tidak jadi membeli?
Selama suatu transaksi belum deal, maka tidak ada ikatan. Namun jika sudah deal, meski sebatas ucapan, maka itu harus dipegang. Selama belum deal, tidak ada wanprestasi. Tapi jika sudah deal dan tidak ditepati, itu barulah wanprestasi. Sudah janji membayar, tapi tidak kunjung membayar. Sudah memenangkan lelang, tapi membatalkan. Itu wanprestasi. Bisa di blacklist. Tapi bisa juga dimaklumi. Siapa tahu ada sesuatu dibalik itu. Siapa tahu suatu saat yang bersangkutan berubah dan menjadi customer masa depan. Bukankah rejeki di tangan Tuhan? Kalau Tuhan belum memberikannya sekarang, dan kita marah-marah kepada calon customer tersebut, yang rugi masih tetap kita. Rugi perasaan, setidaknya. Lebih baik untuk melupakan dan move on, menjajaki calon pembeli selanjutnya ketimbang tinggal dalam kubangan pikiran penuh emosi itu.
Dalam pertarungan pedang antara Miyamoto Musashi melawan Sasaki Kojiro, Kojiro mencabut pedangnya dan membuang sarung pedangnya ke pasir. Melihat tindakan itu, Musashi sudah tahu bahwa Kojiro bakal kalah. Mengapa? Karena ia sudah mengenakan attitude orang kalah. Dari mana Musashi menyimpulkan hal itu? Karena Kojiro membuang sarung pedangnya. Itu berarti di bawah sadarnya ia tidak berpikir untuk dapat menyimpan pedangnya kembali. Pikirannya sudah kalah sebelum benar-benar bertarung. Dan benar, Kojiro pun terkapar berlumuran darah di pantai itu. Sekarat. Saya berpikir, penjual yang sudah meragukan calon pembelinya di awal adalah seperti Sasaki Kojiro yang sudah membuang sarung pedangnya di awal. Bukan pikiran pemenang.
In the previous blog (see: https://hermantogoldfish.com/category/cow-ranchu/) I talked about buying several cow ranchus and crossed them with several ranchu variants. Since then, most of my cow ranchus have died due to illness and accident. I was left with one beautiful male and one unproductive female. This female laid eggs often, but none hatched. After several failures, I let the female go (I sold her). It occurred to my mind the possibility that the female had undergone a certain treatment to make her unproductive. I was glad to have two pure offspring which I posted on the previous blog.
I must admit that the two offspring were weak. One of them could not keep her balance which resulted in stunted growth. I was forced to terminate it early. The remaining one was female, which I keep until now. It had slight imbalance which grew more and more acute. It might not survive long. Here she is:
The good news is I had the chance to mate her with her uncle (the remaining male cow ranchu that I bought in the first place). I am raising two batches right now and will post them in the coming months when they are ready. It is my interest to see if they will breed true or if they will just be calicos.
From the cross between the cow ranchu and the common calico, I kept one female:
For sure the deportment is better than the pure cow ranchu offspring. She grows well, yet she lays no eggs until now. It has past her due time. I still hope she will lay eggs soon. My plan is to mate it back with the “uncle” (the initial cow ranchu).
My pride so far goes to the cross between the cow ranchu and the blue ranchu. I keep only one, also. He is a male with the kirin style pattern. He looks handsome now. My plan is to mate him with a blue ranchu. I would like to see what offspring will they produce. This is the pictures of the handsome guy:
It is interesting to compare them with their childhood pictures (in the previous blog).
Well, these are the updates for now. Hopefully they bring happiness to your days.
After so many years developing the blue and panda oranda from the panda telescope specimen, I finally get this blue one with a satisfying quality. The overall quality of the project is still varied. But this one female oranda stands out. Yes, it can still be improved, especially in the headgrowth feature. The color is stained with brown pattern, which might not conform to the strict standard. Yet, I do not mind the stain. In my personal taste, it improves the beauty. In the future, I might still make some crossing which might alter the character of my blue oranda in an unpredictable way. I welcome this unpredictability.
At the same time, I have also improved my photography technic. I can now take a picture with minimal reflection by employing black fabric and a little bit of photoshop to remove the debris and sharpen the image. So, here are the results. Enjoy.
It has been a long way to create Yellow Oranda from Yellow Comets. While the project had shown some success as reported in my last update, I was not content with the result. The main problem was the small headgrowth. Well, headgrowth was and is and will always be the main identity of an oranda. The small headgrowth did not highlight its main identity, in my point of view. So, I needed to do something about it.
What I did was to cross my initial Yellow Oranda with an Oranda displaying a large and stable headgrowth. I chose my tricolor Oranda for this purpose, since my tricolor Oranda had large goosehead type of headgrowth. Of course, the F1 displayed no yellow color. But the F2 produced several of them. As I analyze the result, I think I am satisfied with the headgrowth of my current F2. Here are two of them:
Aren’t they beautiful? The second picture is the same fish as the one in the featured image (the Title).
The color is as intense as it can be, since they are kept outdoor full of sunshine and algae. And they are still as yellow as lemons.
I only kept four of them, since that is all I need to multiply their number. I does not take a picture of the third fish since it is almost white. Only a tiny stain of yellow is left in its body. Not good for a picture. But still good for breeding. At least I learn that it is possible to produce yellow-white goldfish, just as it is possible to produce red-white goldfish. Yes, the yellow color can coexist with the white.
The last fish is a surprise! At first, it mutated from grey (Yes, the yellow golfsish starts from grey fry) into complete yellow. But then, it develops black color. I thought it was due to stress. It is often for a stress fish to display temporary black color on its body. But the black color persists until now (more than three months). It looks gorgeous. Remembering that one of the grandparent was a tricolor which carried strong black pigment, it is possible that this fish has turned into yellow-black variant! Of course I do hope this is true. It will take more time to confirm this. Here is the handsome fish:
Do you love him?
My next plan with the Yellow Oranda are these:
Of course I will breed them just to make sure they have successor that I can use in my next breeding project.
I am still not satisfied with the quality of the Oranda. So, I plan to cross this yellow oranda with a better quality Oranda in terms of the body and tail. I picture a strong and thick Yellow Oranda with beautiful tail.
Concerning the yellow-black Oranda, I would like to create more of it. Right now I don’t have any pair for it. I am thinking of crossing it back with the tricolor oranda. It will ensure the presence of the black color. Of course the yellow color will not be found in the F1. But the F2 will yield several yellow-black Oranda, I hope!
Kalimat yang kubaca dari buku itu terus menawan pikiranku.
“Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!”
Aku menghela nafas. Bangun pagi adalah urusan yang gampang-gampang sulit. Aku ingat betapa tidak menyenangkannya ketika waktu masih anak-anak aku terbangun karena ayahku pagi-pagi sudah menyetel radio. Aku masih ingin tidur sebentar lagi. Selimut itu terasa begitu nyaman, rasanya tak ingin berpisah dengannya seumur hidup. “Ayo, sudah waktunya mandi!” Duh, di kota Malang waktu itu airnya dingin, apalagi sepagi itu. Membayangkan dinginnya air itu saja sudah membuat badan gemetar. Tidak! Bangun pagi bukanlah sesuatu yang menggairahkan!
Baru berpuluh-puluh tahun kemudian aku bisa menemukan gairah itu. Tiap jam 5 pagi, tidak peduli alarm bunyi atau tidak, aku pasti terbangun. Dan pikiranku langsung berjalan bagai sebuah mobil yang distarter di pagi hari. “Ikan apa yang hari ini bertelur?” Aku langsung beranjak dari tempat tidurku ketika istriku masih lelap, aku pergi ke kolam-kolamku, dan dalam keremangan fajar aku mengintip diam-diam ikan di kolam mana yang sedang bertelur. Ya, aku senang mengembang biakkan ikan mas koki, dan aku memiliki banyak kolam untuk memijahkan mereka. Tiap pagi, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Tidak ada rasa masih ingin tidur sejenak lagi seberapa pun larut aku tidur semalam. Aku harus segera mengurusi ikan-ikan yang bertelur ini. Aku bahkan tidak berpikir tentang gairah. Tapi, itulah gairah!
Apa yang membuatmu bergairah pagi ini?
Ketika aku pulang dari kolam, aku membangunkan anak-anakku dari tidurnya. Mereka harus sekolah. Aku melihat mereka bangun dengan rasa ogah. Kukatakan pada mereka, “Hal nomor satu yang harus kalian lakukan pada waktu bangun adalah … bukan sikat gigi, bukan merapikan selimut, … tapi tersenyum!” Dan dengan ogah-ogahan mereka menyeringai. Sama sekali tidak mirip sebuah senyum. Tapi aku mengerti. Aku yang tersenyum dalam hati. Bukankah bapaknya pun dulu juga ogah-ogahan ketika dibangunkan?
Buku yang kubaca itu menceritakan bahwa manusia adalah mahluk yang diciptakan untuk meniru Penciptanya. Istilah kerennya, Imago Dei. Lantas, apa yang dapat ditiru manusia dari sang Pencipta? Hal paling awal yang dilakukan oleh sang Pencipta adalah … jelas sekali, yaitu mencipta. Jadi kalau manusia hendak meniru PenciptaNya, maka terlibatlah dalam aktivitas mencipta. Begitu bangun pagi, pikirkan, apa yang akan kuciptakan hari ini? Begitu kira-kira alur pemikiran buku itu. Di situlah manusia menemukan gairahnya, yaitu ketika ia menyelaraskan diri dengan maksud PenciptaNya.
Menurutku, ini keren.
Memang sih, ada diskusi tentang apa arti mencipta, apa bedanya mencipta dan membuat, dan lain-lain. Aku tidak ambil pusing. Aku lebih berpikir tentang bagaimana menghidupi hal keren ini. Aku mau bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!
Tapi, mencipta apa?
Aku bukan seorang musikus. Tidak mungkin menciptakan lagu. Aku bukan seorang ilmuwan. Tidak mungkin juga menghasilkan roket terbaru. Mungkin kalau aku seorang pengusaha parbrik, aku bisa memikirkan mencipta produk-produk baru. Sayang aku tidak punya pabrik. Apa yang bisa kucipta?
Apakah mencetak ikan koki varian baru termasuk mencipta? Aku suka menyilang-nyilangkan ikan koki untuk menghasilkan warna warni baru. Proyek eksperimenku yang sudah kuanggap selesai adalah mencetak panda ranchu, sebuah jenis yang langka, yang aku kerjakan lebih dari lima tahun. Aku juga menghasilkan ranchu berwarna coklat putih, sebuah warna yang jarang ada! Proyek paling baruku saat ini adalah mencetak oranda kuning, yang masih on progress. Aku sangat menikmati proses-proses ini, meski memakan waktu bertahun-tahun. Kalau kegiatan ini bisa dianggap sebagai bagian dari aktivitas mencipta, maka aku beruntung bisa bangun pagi tiap hari dan memikirkannya dengan bergairah, meski itu adalah hal yang sangat kecil ketimbang menemukan vaksin baru atau menghasilkan karya lukis sekelas Picasso.
Tapi bagaimana jika seseorang bahkan tidak punya benda materiil untuk dicipta seperti ikan mas koki? Apakah berarti mereka tidak bisa bangun pagi dengan gairah untuk mencipta? Apakah rekan2 karyawan yang tidak terlibat dalam bidang riset menjadi terdiskriminasi dari gairah Ilahi ini? Pikir punya pikir, saya kira tidak begitu. Masih ada hal-hal yang lebih esensial yang bisa diciptakan tanpa perlu apa-apa. Salah satunya adalah … menciptakan kebahagiaan bagi orang di sekelilingnya.
Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk menciptakan kebahagiaan! Ini semua orang bisa lakukan. Ini semudah bangun pagi dengan komitmen bahwa aku akan tersenyum dan menyapa setiap orang yang kujumpai hari ini. Atau bangun pagi dengan komitmen untuk membuat pasanganku senang hari ini. Tidak butuh modal besar! Cukup bondo senyum, atau tangan saja. Tangan? Ya, untuk memijat istri, atau untuk membuatkan secangkir teh hangat! Atau bangun pagi dengan gairah untuk menjadi sumber sumber solusi di kantor, atau penyebar pikiran positif di medsos! Bukankah a happy thought, with a bit of fairy dust, will make us fly?
Istriku suka berjualan. Apa saja dijualnya. Bangun pagi, yg membuatnya bergairah adalah memikirkan apa yang hendak dijualnya hari ini. Apakah menjual buah-buahan berkaitan dengan tindakan mencipta? Aku bilang iya. Menjual buah-buahan adalah bagian dari menciptakan budaya makan yang lebih sehat, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara jasmani, dan tentunya itu ada di hati Tuhan. Keren bukan? Jadi aku katakan pada istriku, juallah apa saja yang mau kau jual hari ini, asal bukan hatiku!