kehidupan dalam air

Beli Ikan

Sewaktu kecil, ketika uang jajan pas-pasan, mampir ke toko ikan dengan perasaan minder. Ikannya bagus-bagus, tapi duit di kantong tidak memadai. Apa daya. Jadi saya lebih banyak ke toko ikan untuk berkunjung saja, melihat-lihat, tapi tidak beli. Untung pemilik toko ikan di Jl Bangka, Malang, waktu itu sabar. Orang dipersilahkan datang, minim tegur sapa, dan tidak beli pun tidak apa-apa.

Saya juga pernah menjadi pembeli yang aneh. Di sebuah toko ikan yang lain, yang sekarang sudah tutup, saya melihat burayak ikan koki ditaruh di aquarium di sebuah rak bagian bawah. Ikan koki di toko itu mahal-mahal, jadi sebagai seorang bocah yang naif, saya berpikir burayak-burayak itu pastilah akan menjadi ikan yang bagus. Karena itu saya berniat membelinya dengan penuh harap harganya tidak mahal. Tapi sang pemilik toko mengatakan itu tidak dijual. Dia tidak tahu burayak 1 cm mau dihargai berapa. Tapi sy terus menerus merayu dia. Saya yang membuka harga. Saya berikan uang jajan saya seminggu untuk membeli 1 ekor burayak tersebut. Mungkin karena merasa terganggu, akhirnya ia menjual satu ekor burayak koki kepada saya, anak kecil yang rewel ini. Saya senang sekali. Burayak itu saya taruh kolam bersama koki2 saya yang lain. Besoknya, burayak itu sudah lenyap.

Ketika saya dewasa dan memulai karir di Surabaya, saya kembali mulai berburu ikan mas koki. Saya mencarinya di iklan jitu koran Jawa Pos. Mendatangi rumah-rumah pedagang sambilan itu membuat hati deg-deg an juga. Harga ikannya mahal-mahal. Dan saya merasa dinilai oleh penjualnya, orang ini punya uang atau tidak. Jika saya memberi kesan tidak mampu beli, sikap mereka menjadi ketus. Biasanya saya tidak datang lagi ke tempat mereka. Hanya kepada penjual yang saya merasa cocok, yang enak diajak ngobrol dan tidak menghakimi, saya bisa menjadi langganan.

Akhirnya itu menjadi kebiasaan saya dalam bertransaksi. Kalau merasa tidak cocok dengan karakter seorang penjual, ya sudah, diam-diam saja menjauh. Saya pikir saya tidak rugi apa-apa. Malah penjual itu yang rugi karena kehilangan calon pembeli masa depan.

Calon pembeli masa depan? Iya. Bukankah kondisi selalu berubah? Seseorang yang hari ini tidak mampu beli ikan, suatu saat bisa jadi mampu. Jika penjual sudah mengusirnya pada waktu dia tidak mampu, bukankah berarti ia sedang menutup masa depannya dari rejeki? Tapi meski seseorang berkelakuan aneh (seperti saya waktu kecil) atau tidak mampu beli saat ini (seperti sy juga dulu) namun tetap dilayani dengan baik, tetap dimaklumi, tetap dijadikan kawan, suatu saat mungkin ia bakal beli, atau menjadi customer besar.

Hanya sekali saya marah. Waktu itu ikan yang saya ingin beli, dikatakan tidak lagi dijual. Tapi jika saya benar-benar menginginkan, maka akan dipertimbangkan untuk dijual. Kesan saya waktu itu, saya disuruh mengemis-ngemis dahulu untuk diijinkan membeli ikan itu. Saya marah besar. Dalam bahasa Jawa saya berteriak “ga tuku iwakmu ga patek-en.” Tapi dalam hati saja saya mengatakannya. Yang pasti, saya putus hubungan dengan penjual itu untuk seterusnya.

Ketika saya makin menekuni breeding, mau tak mau saya harus menjual ikan saya juga. Kalau terlalu banyak, mau diapakan lagi selain dijual? Jadi saya juga berada dalam posisi sebagai penjual. Memang pengalaman sebagai pembeli itu membekas dalam hati. Saya tidak ingin memperlakukan pembeli seperti saya diperlakukan oleh penjual-penjual yang ketus dan sok. Saya merasa calon pembeli berhak mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang ikan yang mau dibeli. Calon pembeli juga berhak untuk tidak cocok / tidak jadi membeli. Yang pasti, saya akan melayani mereka dengan ramah. Jika mereka tidak membeli sekarang, mereka tetap adalah calon pembeli saya di masa depan. Mengapa saya harus menutup pintu masa depan saya hanya karena mereka berlaku aneh atau tidak jadi membeli?

Selama suatu transaksi belum deal, maka tidak ada ikatan. Namun jika sudah deal, meski sebatas ucapan, maka itu harus dipegang. Selama belum deal, tidak ada wanprestasi. Tapi jika sudah deal dan tidak ditepati, itu barulah wanprestasi. Sudah janji membayar, tapi tidak kunjung membayar. Sudah memenangkan lelang, tapi membatalkan. Itu wanprestasi. Bisa di blacklist. Tapi bisa juga dimaklumi. Siapa tahu ada sesuatu dibalik itu. Siapa tahu suatu saat yang bersangkutan berubah dan menjadi customer masa depan. Bukankah rejeki di tangan Tuhan? Kalau Tuhan belum memberikannya sekarang, dan kita marah-marah kepada calon customer tersebut, yang rugi masih tetap kita. Rugi perasaan, setidaknya. Lebih baik untuk melupakan dan move on, menjajaki calon pembeli selanjutnya ketimbang tinggal dalam kubangan pikiran penuh emosi itu.

Dalam pertarungan pedang antara Miyamoto Musashi melawan Sasaki Kojiro, Kojiro mencabut pedangnya dan membuang sarung pedangnya ke pasir. Melihat tindakan itu, Musashi sudah tahu bahwa Kojiro bakal kalah. Mengapa? Karena ia sudah mengenakan attitude orang kalah. Dari mana Musashi menyimpulkan hal itu? Karena Kojiro membuang sarung pedangnya. Itu berarti di bawah sadarnya ia tidak berpikir untuk dapat menyimpan pedangnya kembali. Pikirannya sudah kalah sebelum benar-benar bertarung. Dan benar, Kojiro pun terkapar berlumuran darah di pantai itu. Sekarat. Saya berpikir, penjual yang sudah meragukan calon pembelinya di awal adalah seperti Sasaki Kojiro yang sudah membuang sarung pedangnya di awal. Bukan pikiran pemenang.

Hermanto

23 September 2020

Advertisement
Standard

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s