kehidupan dalam air

Beningnya Batin

Itu pertama kali aku jatuh cinta pada kehidupan di dalam air!

               Pamanku, yang waktu itu masih muda, punya piaraan baru. Ia mengajakku datang melihat-lihat piaraannya itu. Di lorong sempit yang dia jadikan taman itu, aku melihat sebuah jedingan bekas copotan dari kamar mandi yang dijadikannya tempat memelihara ikan. Wadah dari semen itu sebenarnya kecil saja, tapi bagiku yang belum genap berusia sepuluh tahun, jedingan itu terasa besar sekali. Aku melongok ke dalamnya dan tiba-tiba aku menemukan sebuah dunia lain. Sebuah dunia yang begitu bening! Aku bisa melihat pasir hitam yang ada di dasarnya. Ikan-ikan kecil beraneka jenis sibuk berenang di antara beragam tanaman air yang ada di dunia lain itu. Ada yang berkejar-kejaran, ada yang sibuk mencari makan di sela-sela daun atau di dasar, dan ada pula yang bersembunyi di balik bebatuan mungkin sedang bermain petak umpet dengan temannya. Seakan ikan-ikan itu tidak peduli pada kisah dan keluh kesah dunia manusia. Mereka punya kisah mereka sendiri. Berbagai perasaan berkecamuk dalam jiwa kecilku. Aku belum pernah merasakan kesegaran seperti ini. Pada saat itulah, aku jatuh cinta pada kebeningan itu.

               Aku belum mengerti tentang ikan pada waktu itu. Bahkan aku sempat menanyakan ini ikan air laut atau air tawar. Pertanyaan yang bodoh, mana mungkin guppy, neon, dan platy dipiara di air laut! Aku ingat pamanku menangkap seekor ikan gepeng transparan untuk ditunjukkan padaku. Namanya ikan kaca, katanya. Ikan tersebut bening seperti kaca, sehingga kelihatan tulang-tulang badannya. Tidak ada ikan koki di sana. Perjalananku sampai mencintai ikan koki masih panjang.

               Singkat cerita, setelah aku lulus kuliah, aku tinggal di surabaya. Orang tuaku membelikanku sebuah rumah. Aku beruntung memiliki seorang ayah yang merasa kewajibannya baru selesai jika sudah menyediakan sebuah usaha lengkap dengan modalnya dan sebuah rumah bagi anak2nya. Aku bersyukur mendapatkan rumah itu, tapi aku tetap mengajukan syarat. Aku minta ada kolam di rumah itu. Ayahku mengerti. Dari kecil aku selalu minta seperti itu. Dahulu sepulang dari rumah pamanku pada pengalaman pertama jatuh cinta pada dunia dalam air, aku minta dibelikan ikan. Akhirnya, ketika penjual ikan pikulan lewat, aku dibelikan. Piara di mana? Di ember seadanya. Tak berapa lama ikan tersebut mati. Lalu suatu kali aku pulang dari gereja melewati pasar Splendid di Malang di mana orang menjual ikan berjajar-jajar. Di sana aku melihat ikan-ikan yang lucu dengan warna dan sirip yang menarik! Aku bertanya, ikan apa itu? Oh, itu ikan mas koki, kata penjualnya. Lucu sekali! Aku pulang dengan tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan ikan-ikan tersebut. Maka dimulailah perjalanan cintaku dengan ikan mas koki. Lambat laun, melihat aku suka memelihara ikan, papaku membelikanku sebuah aquarium kecil, yang karena tidak ada raknya, ditaruh di lantai. Aku suka tidur di lantai di depan aquarium itu sambil memandangi ikan-ikan mas kokiku. Aku rajin mengurasnya, bahkan pernah membuat ayahku marah karena aku memilih malam-malam menguras aquarium ketimbang belajar untuk ulangan sekolah besok.

kenangan ikan mas koki mutiara masa kecilku

Aquarium kecil, berubah menjadi aquarium besar. Semua pekerjaan menguras aku kerjakan sendiri. Aku ingat ikan favoritku adalah mutiara ekor panjang yang pernah kulukis. Sampai sekarang kental sekali ingatanku akan ikan itu. Aku juga pernah punya oranda yang warna merah dan putihnya cemerlang sekali! Entah pikiranku yang membesar-besarkan keindahannya atau memang ikan seperti itu pernah ada, sampai sekarang aku jarang melihat warna seindah itu. Padahal belinya di pasar ikan murah-murah. Ketika ayahku mendapat rejeki dalam bisnisnya dan bisa membangun rumah baru, ia membuatkan sebuah kolam untukku. Itulah pertama kalinya aku punya kolam sendiri. Waktu itu aku belum mengerti tentang filter, jadi kolam itu tidak memiliki filter sama sekali. Dan setelah aku lulus kuliah, bekerja di Surabaya, diberi hadiah sebuah rumah, aku pun membuat sebuah kolam juga di rumah baruku. Agaknya aku tidak bisa hidup tanpa kehadiran sebuah kolam.

               Namun aku mengalami masalah.

               Kolamku keruh. Sekeruh pikiranku pada saat itu.

               Sudah kuupayakan segala cara yang aku bisa, tetap saja demikian. Aku sampai merasa putus asa. Setelah aku kuras, beberapa hari kemudian keruh lagi. Apakah ikan koki tidak boleh dicampur dengan ikan manfish? Rasanya bukan karena itu. Tiap hari aku lihat, apakah debu-debunya sudah mengendap dan kolamku sudah menjadi bening, tapi tak kunjung bening juga.

               Kebetulan pada saat itu aku baru lulus kuliah. Ketika aku melihat masa depanku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Keruh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dalam hidup ini. Aku tidak tahu bisnis yang diwariskan oleh ayahku ini apakah bisnis yang tepat untukku. Aku tidak tahu apakah pacarku ini calon istri yang tepat untukku. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu! Semua terasa begitu keruh! Aku berusaha menenangkan diriku. Aku mencoba mengendapkan semua debu pemikiran itu dalam batinku. Tapi dalam ziarah ke dalam itu, aku hanya menemukan sebuah kolam butek. Bertahun-tahun aku dalam kondisi seperti itu. Oh, betapa inginnya aku lari mencari kolam jedingan yang kulihat di masa kecilku itu dan duduk menikmati kebeningannya lagi! Mungkin dengan begitu semua kekeruhan dalam batinku akan berangsur-angsur menjadi jernih. Mungkinkah kekeruhan hatiku membuat kolamku tidak bisa bening?

               Aku terus berdoa. Aku terus memohon. Aku meminta batin yang bening dan pikiran yang jernih. Aku ingin dibebaskan dari rasa keruh hati ini. Aku pegang ayat yang mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan. Maka aku membaca banyak buku, mengikuti banyak seminar, dengan harapan bahwa aku akan menemukan kebenaran itu. Capek sekali hidup dalam kondisi keruh batin!

               Suatu saat aku browse internet, yang mana itu masih sebuah luxury di jaman itu. Aku menemukan artikel tentang sistem filter yang menirukan filtrasi di alam. Aku sangat tertarik. Dan aku mulai menerapkannya. Alhasil, kolamku pun menjadi bening! Aku harap ada suatu sistem atau cara seperti itu yang bisa kulakukan dan membuat batinku pun menjadi bening.

               Dalam kehidupan pribadiku, aku belajar untuk jujur pada diri sendiri. Aku menuliskan pikiran-pikiranku, perasaanku, dan apa saja yang ada dalam diriku dalam berlembar-lembar kertas dan berhalaman-halaman microsoft word. Aku harap ini membantuku menjernihkan pikiranku. Setiap akhir tahun aku melakukan tulisan refleksi atas diriku sendiri, dan membuat rencana-rencana pribadi. Dan seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal menjadi jelas bagiku. Sekarang, meski pikiran dan batinku belum sejernih dan sebening kristal, namun sudah banyak bagiannya yang menjadi terang. Dan aku bersyukur untuk itu. Sampai tahap tertentu, aku telah menemukan kebebasan jiwa.

               Batin yang bening. Ada yang peduli?

Hermanto 22 Mei 2018

Standard
kehidupan dalam air

Beli Ikan

Sewaktu kecil, ketika uang jajan pas-pasan, mampir ke toko ikan dengan perasaan minder. Ikannya bagus-bagus, tapi duit di kantong tidak memadai. Apa daya. Jadi saya lebih banyak ke toko ikan untuk berkunjung saja, melihat-lihat, tapi tidak beli. Untung pemilik toko ikan di Jl Bangka, Malang, waktu itu sabar. Orang dipersilahkan datang, minim tegur sapa, dan tidak beli pun tidak apa-apa.

Saya juga pernah menjadi pembeli yang aneh. Di sebuah toko ikan yang lain, yang sekarang sudah tutup, saya melihat burayak ikan koki ditaruh di aquarium di sebuah rak bagian bawah. Ikan koki di toko itu mahal-mahal, jadi sebagai seorang bocah yang naif, saya berpikir burayak-burayak itu pastilah akan menjadi ikan yang bagus. Karena itu saya berniat membelinya dengan penuh harap harganya tidak mahal. Tapi sang pemilik toko mengatakan itu tidak dijual. Dia tidak tahu burayak 1 cm mau dihargai berapa. Tapi sy terus menerus merayu dia. Saya yang membuka harga. Saya berikan uang jajan saya seminggu untuk membeli 1 ekor burayak tersebut. Mungkin karena merasa terganggu, akhirnya ia menjual satu ekor burayak koki kepada saya, anak kecil yang rewel ini. Saya senang sekali. Burayak itu saya taruh kolam bersama koki2 saya yang lain. Besoknya, burayak itu sudah lenyap.

Ketika saya dewasa dan memulai karir di Surabaya, saya kembali mulai berburu ikan mas koki. Saya mencarinya di iklan jitu koran Jawa Pos. Mendatangi rumah-rumah pedagang sambilan itu membuat hati deg-deg an juga. Harga ikannya mahal-mahal. Dan saya merasa dinilai oleh penjualnya, orang ini punya uang atau tidak. Jika saya memberi kesan tidak mampu beli, sikap mereka menjadi ketus. Biasanya saya tidak datang lagi ke tempat mereka. Hanya kepada penjual yang saya merasa cocok, yang enak diajak ngobrol dan tidak menghakimi, saya bisa menjadi langganan.

Akhirnya itu menjadi kebiasaan saya dalam bertransaksi. Kalau merasa tidak cocok dengan karakter seorang penjual, ya sudah, diam-diam saja menjauh. Saya pikir saya tidak rugi apa-apa. Malah penjual itu yang rugi karena kehilangan calon pembeli masa depan.

Calon pembeli masa depan? Iya. Bukankah kondisi selalu berubah? Seseorang yang hari ini tidak mampu beli ikan, suatu saat bisa jadi mampu. Jika penjual sudah mengusirnya pada waktu dia tidak mampu, bukankah berarti ia sedang menutup masa depannya dari rejeki? Tapi meski seseorang berkelakuan aneh (seperti saya waktu kecil) atau tidak mampu beli saat ini (seperti sy juga dulu) namun tetap dilayani dengan baik, tetap dimaklumi, tetap dijadikan kawan, suatu saat mungkin ia bakal beli, atau menjadi customer besar.

Hanya sekali saya marah. Waktu itu ikan yang saya ingin beli, dikatakan tidak lagi dijual. Tapi jika saya benar-benar menginginkan, maka akan dipertimbangkan untuk dijual. Kesan saya waktu itu, saya disuruh mengemis-ngemis dahulu untuk diijinkan membeli ikan itu. Saya marah besar. Dalam bahasa Jawa saya berteriak “ga tuku iwakmu ga patek-en.” Tapi dalam hati saja saya mengatakannya. Yang pasti, saya putus hubungan dengan penjual itu untuk seterusnya.

Ketika saya makin menekuni breeding, mau tak mau saya harus menjual ikan saya juga. Kalau terlalu banyak, mau diapakan lagi selain dijual? Jadi saya juga berada dalam posisi sebagai penjual. Memang pengalaman sebagai pembeli itu membekas dalam hati. Saya tidak ingin memperlakukan pembeli seperti saya diperlakukan oleh penjual-penjual yang ketus dan sok. Saya merasa calon pembeli berhak mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang ikan yang mau dibeli. Calon pembeli juga berhak untuk tidak cocok / tidak jadi membeli. Yang pasti, saya akan melayani mereka dengan ramah. Jika mereka tidak membeli sekarang, mereka tetap adalah calon pembeli saya di masa depan. Mengapa saya harus menutup pintu masa depan saya hanya karena mereka berlaku aneh atau tidak jadi membeli?

Selama suatu transaksi belum deal, maka tidak ada ikatan. Namun jika sudah deal, meski sebatas ucapan, maka itu harus dipegang. Selama belum deal, tidak ada wanprestasi. Tapi jika sudah deal dan tidak ditepati, itu barulah wanprestasi. Sudah janji membayar, tapi tidak kunjung membayar. Sudah memenangkan lelang, tapi membatalkan. Itu wanprestasi. Bisa di blacklist. Tapi bisa juga dimaklumi. Siapa tahu ada sesuatu dibalik itu. Siapa tahu suatu saat yang bersangkutan berubah dan menjadi customer masa depan. Bukankah rejeki di tangan Tuhan? Kalau Tuhan belum memberikannya sekarang, dan kita marah-marah kepada calon customer tersebut, yang rugi masih tetap kita. Rugi perasaan, setidaknya. Lebih baik untuk melupakan dan move on, menjajaki calon pembeli selanjutnya ketimbang tinggal dalam kubangan pikiran penuh emosi itu.

Dalam pertarungan pedang antara Miyamoto Musashi melawan Sasaki Kojiro, Kojiro mencabut pedangnya dan membuang sarung pedangnya ke pasir. Melihat tindakan itu, Musashi sudah tahu bahwa Kojiro bakal kalah. Mengapa? Karena ia sudah mengenakan attitude orang kalah. Dari mana Musashi menyimpulkan hal itu? Karena Kojiro membuang sarung pedangnya. Itu berarti di bawah sadarnya ia tidak berpikir untuk dapat menyimpan pedangnya kembali. Pikirannya sudah kalah sebelum benar-benar bertarung. Dan benar, Kojiro pun terkapar berlumuran darah di pantai itu. Sekarat. Saya berpikir, penjual yang sudah meragukan calon pembelinya di awal adalah seperti Sasaki Kojiro yang sudah membuang sarung pedangnya di awal. Bukan pikiran pemenang.

Hermanto

23 September 2020

Standard
kehidupan dalam air

Gairah untuk Mencipta

Kalimat yang kubaca dari buku itu terus menawan pikiranku.

“Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!”

Aku menghela nafas. Bangun pagi adalah urusan yang gampang-gampang sulit. Aku ingat betapa tidak menyenangkannya ketika waktu masih anak-anak aku terbangun karena ayahku pagi-pagi sudah menyetel radio. Aku masih ingin tidur sebentar lagi. Selimut itu terasa begitu nyaman, rasanya tak ingin berpisah dengannya seumur hidup. “Ayo, sudah waktunya mandi!” Duh, di kota Malang waktu itu airnya dingin, apalagi sepagi itu. Membayangkan dinginnya air itu saja sudah  membuat badan gemetar. Tidak! Bangun pagi bukanlah sesuatu yang menggairahkan!

Baru berpuluh-puluh tahun kemudian aku bisa menemukan gairah itu. Tiap jam 5 pagi, tidak peduli alarm bunyi atau tidak, aku pasti terbangun. Dan pikiranku langsung berjalan bagai sebuah mobil yang distarter di pagi hari. “Ikan apa yang hari ini bertelur?” Aku langsung beranjak dari tempat tidurku ketika istriku masih lelap, aku pergi ke kolam-kolamku, dan dalam keremangan fajar aku mengintip diam-diam ikan di kolam mana yang sedang bertelur. Ya, aku senang mengembang biakkan ikan mas koki, dan aku memiliki banyak kolam untuk memijahkan mereka. Tiap pagi, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Tidak ada rasa masih ingin tidur sejenak lagi seberapa pun larut aku tidur semalam. Aku harus segera mengurusi ikan-ikan yang bertelur ini. Aku bahkan tidak berpikir tentang gairah. Tapi, itulah gairah!

Apa yang membuatmu bergairah pagi ini?

Ketika aku pulang dari kolam, aku membangunkan anak-anakku dari tidurnya. Mereka harus sekolah. Aku melihat mereka bangun dengan rasa ogah. Kukatakan pada mereka, “Hal nomor satu yang harus kalian lakukan pada waktu bangun adalah … bukan sikat gigi, bukan merapikan selimut, … tapi tersenyum!” Dan dengan ogah-ogahan mereka menyeringai. Sama sekali tidak mirip sebuah senyum. Tapi aku mengerti. Aku yang tersenyum dalam hati. Bukankah bapaknya pun dulu juga ogah-ogahan ketika dibangunkan?

Buku yang kubaca itu menceritakan bahwa manusia adalah mahluk yang diciptakan untuk meniru Penciptanya. Istilah kerennya, Imago Dei. Lantas, apa yang dapat ditiru manusia dari sang Pencipta? Hal paling awal yang dilakukan oleh sang Pencipta adalah … jelas sekali, yaitu mencipta. Jadi kalau manusia hendak meniru PenciptaNya, maka terlibatlah dalam aktivitas mencipta. Begitu bangun pagi, pikirkan, apa yang akan kuciptakan hari ini? Begitu kira-kira alur pemikiran buku itu. Di situlah manusia menemukan gairahnya, yaitu ketika ia menyelaraskan diri dengan maksud PenciptaNya.

Menurutku, ini keren.

Memang sih, ada diskusi tentang apa arti mencipta, apa bedanya mencipta dan membuat, dan lain-lain. Aku tidak ambil pusing. Aku lebih berpikir tentang bagaimana menghidupi hal keren ini. Aku mau bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!

Tapi, mencipta apa?

Aku bukan seorang musikus. Tidak mungkin menciptakan lagu. Aku bukan seorang ilmuwan. Tidak mungkin juga menghasilkan roket terbaru. Mungkin kalau aku seorang pengusaha parbrik, aku bisa memikirkan mencipta produk-produk baru. Sayang aku tidak punya pabrik. Apa yang bisa kucipta?

Apakah mencetak ikan koki varian baru termasuk mencipta? Aku suka menyilang-nyilangkan ikan koki untuk menghasilkan warna warni baru. Proyek eksperimenku yang sudah kuanggap selesai adalah mencetak panda ranchu, sebuah jenis yang langka, yang aku kerjakan lebih dari lima tahun. Aku juga menghasilkan ranchu berwarna coklat putih, sebuah warna yang jarang ada! Proyek paling baruku saat ini adalah mencetak oranda kuning, yang masih on progress. Aku sangat menikmati proses-proses ini, meski memakan waktu bertahun-tahun. Kalau kegiatan ini bisa dianggap sebagai bagian dari aktivitas mencipta, maka aku beruntung bisa bangun pagi tiap hari dan memikirkannya dengan bergairah, meski itu adalah hal yang sangat kecil ketimbang menemukan vaksin baru atau menghasilkan karya lukis sekelas Picasso.

Tapi bagaimana jika seseorang bahkan tidak punya benda materiil untuk dicipta seperti ikan mas koki? Apakah berarti mereka tidak bisa bangun pagi dengan gairah untuk mencipta? Apakah rekan2 karyawan yang tidak terlibat dalam bidang riset menjadi terdiskriminasi dari gairah Ilahi ini? Pikir punya pikir, saya kira tidak begitu. Masih ada hal-hal yang lebih esensial yang bisa diciptakan tanpa perlu apa-apa. Salah satunya adalah … menciptakan kebahagiaan bagi orang di sekelilingnya.

Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk menciptakan kebahagiaan! Ini semua orang bisa lakukan. Ini semudah bangun pagi dengan komitmen bahwa aku akan tersenyum dan menyapa setiap orang yang kujumpai hari ini. Atau bangun pagi dengan komitmen untuk membuat pasanganku senang hari ini. Tidak butuh modal besar! Cukup bondo senyum, atau tangan saja. Tangan? Ya, untuk memijat istri, atau untuk membuatkan secangkir teh hangat! Atau bangun pagi dengan gairah untuk menjadi sumber sumber solusi di kantor, atau penyebar pikiran positif di medsos! Bukankah a happy thought, with a bit of fairy dust, will make us fly?

Istriku suka berjualan. Apa saja dijualnya. Bangun pagi, yg membuatnya bergairah adalah memikirkan apa yang hendak dijualnya hari ini. Apakah menjual buah-buahan berkaitan dengan tindakan mencipta? Aku bilang iya. Menjual buah-buahan adalah bagian dari menciptakan budaya makan yang lebih sehat, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara jasmani, dan tentunya itu ada di hati Tuhan. Keren bukan? Jadi aku katakan pada istriku, juallah apa saja yang mau kau jual hari ini, asal bukan hatiku!

Selamat bergairah untuk mencipta!

Hermanto

17 Mei 2018

Standard