kehidupan dalam air

Towards My Line

               Ada sesuatu yang sedang berubah dalam diriku.

               Sulit mendeskripsikannya.

               Mungkin begini: dulu aku tau, sekarang aku TAU; dulu aku mengerti, sekarang aku MENGERTI. Ada hal-hal yang dari dulu aku sudah tau, tapi mengapa sekarang aku kembali pada pengetauan itu tapi secara berbeda? Ada suara dalam diri yang mengatakan: dulu kamu tau, tapi sebenarnya kamu belum tau; sekarang baru kamu tau.

               Membingungkan?

               Dalam memelihara ikan, dari dulu aku tau bahwa para master memiliki line mereka sendiri. Ikan-ikan mereka memiliki tanda tangan mereka: seragam dalam keunikannya. Itu menjadi idealisme para breeder. Aku sudah tahu itu belasan tahun, dan sering pula menyampaikan aspirasi itu kepada teman-teman sesama penghobi. Tapi sekarang aku sadar, sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang itu.

               Kalau ditanya, seperti apakah line ikan-ikanku? Maka aku akan menjawab tidak punya. Mungkin ada teman-teman yang mengatakan line ku seperti ini atau seperti itu. Tapi mereka keliru, karena ikan-ikanku terus berubah dari tahun ke tahun. Ada keinginan tertentu, maka aku mencoba mencetaknya. Ada ikan lain yang memiliki fitur menarik di pasar, maka aku mencoba menyuntikkan fitur itu ke ikan-ikanku. Dan ini tidak hanya sekali dua kali. Fitur-fitur unik yang berbeda-beda itu melimpah dalam dunia ikan koki. Aku terus bereksperimen dengan mereka sesuka hatiku. Akibatnya, aku konsisten berubah terus.

               Tapi di tahun ke dua puluh satu kegiatan breedingku ini, aku sampai pada suatu kesadaran tertentu. Seperti pengelana yang akhirnya memilih untuk menetap “settle” di suatu tempat, demikian petualanganku dengan fitur-fitur ikan mulai mereda. Setidaknya, dalam jenis Oranda, aku mulai melihat bakal line-ku seperti apa. Gambaran itu makin lama makin jelas.

               Aku sampai pada kesadaran bahwa “establishing a line” itu berarti tidak lagi mendua hati. Ibarat seseorang yang berjumpa dengan banyak wanita mengagumkan. Ada wanita yang fitur utamanya adalah kecantikannya. Dan harus kukatakan, kecantikan itu pun sangat bervariasi. Ada wanita yang daya tarik utamanya adalah intelektualitasnya. Meski tidak semua menghargai itu, bahkan banyak pria yang merasa takut pada fitur itu. Ada wanita yang begitu baik hatinya; ada pula wanita pekerja yang begitu berwibawa dan berprestasi; dan banyak lagi. Pemuda ini mengagumi semua keunikan-keunikan itu dan tidak dapat memutuskan mana yang akan dipujanya. Bahkan mungkin setelah menikahi seorang dari mereka pun, ia belum sepenuhnya yakin bahwa ia sudah memilih dengan tepat. Tapi, setelah bertahun-tahun menikah, di titik kesadaran tertentu, barulah ia mantap hati. Ketika hatinya sudah mantap, ia tidak lagi mendua hati. Benar, masih tetap banyak keutamaan di luar sana yang menarik. Tapi tidak mendua hati berarti memilih satu orang wanita untuk ditaruh di dalam hatinya, dan sudah tidak lagi peduli kepada yang lain. Demikian juga dengan membangun line ikan koki.

               Aku tidak tahu, mengapa line yang muncul pertama secara jelas dalam diriku justru Oranda. Dulu waktu kecil aku pernah terkesima dengan seekor Oranda yang aku beli di pasar. Warnanya merah putih, namun merahnya sangat merah dan putihnya sangat bersih. Tapi tidak lama aku yang waktu itu masih kecil memeliharanya, ikan itu mati. Dan aku tidak pernah menjumpai oranda seindah itu lagi di masa mudaku. Ketika aku memulai hobi breeding, Oranda adalah ikan yang paling tidak favorit bagiku. Bentuknya yang berjambul mengingatkanku pada tante-tante dengan rambut disanggul tinggi sewaktu ke pesta. Terlihat berlebihan berdandan. Aku tidak suka. Namun sejak aku diajak seorang teman untuk menulis buku tentang apresiasi ikan koki, aku belajar banyak darinya tentang apresiasi Oranda. Jangan melihat Oranda sebagai tante yang sedang berangkat ke pesta. Jangan juga melihat Oranda sebagai badut yang lucu. Bukan, Oranda bukan itu. Oranda adalah seorang raja yang berwibawa. Jambul itu bukan rambut yang disanggul, atau topi seorang badut, melainkan mahkota seorang raja! Pandanganku tentang Oranda mulai berubah sejak itu. Jujur dahulu aku tidak mau memelihara Oranda. Aku akhirnya memelihara Oranda hanya untuk membuat sesi foto sebagai ilustrasi buku tersebut. Tapi makin lama memelihara makin aku bisa melihat keindahannya.

               Ada Oranda line si A, ada pula line si B. Ada Oranda yang berjambul goosehead, ada yang tipe lionhead, dan segudang tipe lagi. Ada yang short body, medium, hingga long body. Ada bentuk tubuh yang langsing hingga yang lebar. Belum lagi berbicara tentang berbagai jenis ekornya. Sangat bervariasi. Dan runyamnya, aku bisa mengapresiasi keragaman itu, hingga tidak bisa memiliki line-ku sendiri. Tapi kini, setelah 20 tahun breeding, mulai jelas bagiku idealisme Oranda mana yang kupilih untuk menjadi line-ku. Dan itu berarti aku harus merelakan keindahan-keindahan yang lain.

               Tentu saja aku tidak ingin sama dengan line teman-temanku yang sudah establish. Untuk masalah bentuk aku akan mengadopsi line tertentu, dengan sedikit modifikasi bentuk, tapi dengan modifikasi besar pada warna. Line Oranda ku adalah blue oranda, brown oranda, purple oranda dan yellow oranda dengan bentuk seperti foto di atas.

               Tidak lagi mendua hati terdengar seperti sebuah prinsip yang sederhana. Tapi tidak mudah mencapainya. Ini masih sekedar masalah ikan, belum lagi masalah menerapkannya dalam kehidupan.

               “Establishing a Line” juga berarti menerima kelebihan dan kekurangan ikan itu. Tidak ada ikan yang sempurna. Mungkin sempurna di fitur tertentu, tapi di fitur yang lain ia tidak seindah ikan orang lain. Mungkin juga fitur dalam line yang sedang dikembangkan ini bukan fitur yang sedang naik daun. Tapi, hati yang tidak mendua juga adalah hati yang bisa menerima. Ia sempurna di mata breedernya, sempurna dalam kelebihan dan kekurangannya. Apa kata orang tidak lagi menggoyahkannya, apalagi menyinggung hatinya. Ia puas.

               Tidak berarti breeder itu tidak akan melakukan perbaikan apa-apa lagi. Perbaikan tetap dilakukan. Variasi juga tetap dikembangkan. Namun pergumulan akan garis besar utamanya sudah selesai. Sama seperti seorang suami yang sudah menerima istrinya apa adanya juga masih kadang bertengkar atau mengkritik, tapi itu bukan lagi hal besar.

               Itulah yang kini kulihat tentang membangun sebuah line yang dahulu tidak kulihat.

               Dalam kategori Oranda, aku makin jelas, dan aku masih butuh mungkin dua tahun untuk sampai pada angan-angan tersebut. Dalam ranchu, aku masih belum menemukannya. Dalam tahun-tahun mendatang mungkin ranchu ku masih akan sangat bervariasi dan tidak dapat disebut sebagai sebuah line yang solid. Aku masih perlu “njajan” hingga menemukan tambatan hati.

Ya, tidak apa-apa. Satu per satu saja. Dijalani dan dinikmati saja.

Hermanto 26 Januari 2020

Standard
kehidupan dalam air

Beningnya Batin

Itu pertama kali aku jatuh cinta pada kehidupan di dalam air!

               Pamanku, yang waktu itu masih muda, punya piaraan baru. Ia mengajakku datang melihat-lihat piaraannya itu. Di lorong sempit yang dia jadikan taman itu, aku melihat sebuah jedingan bekas copotan dari kamar mandi yang dijadikannya tempat memelihara ikan. Wadah dari semen itu sebenarnya kecil saja, tapi bagiku yang belum genap berusia sepuluh tahun, jedingan itu terasa besar sekali. Aku melongok ke dalamnya dan tiba-tiba aku menemukan sebuah dunia lain. Sebuah dunia yang begitu bening! Aku bisa melihat pasir hitam yang ada di dasarnya. Ikan-ikan kecil beraneka jenis sibuk berenang di antara beragam tanaman air yang ada di dunia lain itu. Ada yang berkejar-kejaran, ada yang sibuk mencari makan di sela-sela daun atau di dasar, dan ada pula yang bersembunyi di balik bebatuan mungkin sedang bermain petak umpet dengan temannya. Seakan ikan-ikan itu tidak peduli pada kisah dan keluh kesah dunia manusia. Mereka punya kisah mereka sendiri. Berbagai perasaan berkecamuk dalam jiwa kecilku. Aku belum pernah merasakan kesegaran seperti ini. Pada saat itulah, aku jatuh cinta pada kebeningan itu.

               Aku belum mengerti tentang ikan pada waktu itu. Bahkan aku sempat menanyakan ini ikan air laut atau air tawar. Pertanyaan yang bodoh, mana mungkin guppy, neon, dan platy dipiara di air laut! Aku ingat pamanku menangkap seekor ikan gepeng transparan untuk ditunjukkan padaku. Namanya ikan kaca, katanya. Ikan tersebut bening seperti kaca, sehingga kelihatan tulang-tulang badannya. Tidak ada ikan koki di sana. Perjalananku sampai mencintai ikan koki masih panjang.

               Singkat cerita, setelah aku lulus kuliah, aku tinggal di surabaya. Orang tuaku membelikanku sebuah rumah. Aku beruntung memiliki seorang ayah yang merasa kewajibannya baru selesai jika sudah menyediakan sebuah usaha lengkap dengan modalnya dan sebuah rumah bagi anak2nya. Aku bersyukur mendapatkan rumah itu, tapi aku tetap mengajukan syarat. Aku minta ada kolam di rumah itu. Ayahku mengerti. Dari kecil aku selalu minta seperti itu. Dahulu sepulang dari rumah pamanku pada pengalaman pertama jatuh cinta pada dunia dalam air, aku minta dibelikan ikan. Akhirnya, ketika penjual ikan pikulan lewat, aku dibelikan. Piara di mana? Di ember seadanya. Tak berapa lama ikan tersebut mati. Lalu suatu kali aku pulang dari gereja melewati pasar Splendid di Malang di mana orang menjual ikan berjajar-jajar. Di sana aku melihat ikan-ikan yang lucu dengan warna dan sirip yang menarik! Aku bertanya, ikan apa itu? Oh, itu ikan mas koki, kata penjualnya. Lucu sekali! Aku pulang dengan tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan ikan-ikan tersebut. Maka dimulailah perjalanan cintaku dengan ikan mas koki. Lambat laun, melihat aku suka memelihara ikan, papaku membelikanku sebuah aquarium kecil, yang karena tidak ada raknya, ditaruh di lantai. Aku suka tidur di lantai di depan aquarium itu sambil memandangi ikan-ikan mas kokiku. Aku rajin mengurasnya, bahkan pernah membuat ayahku marah karena aku memilih malam-malam menguras aquarium ketimbang belajar untuk ulangan sekolah besok.

kenangan ikan mas koki mutiara masa kecilku

Aquarium kecil, berubah menjadi aquarium besar. Semua pekerjaan menguras aku kerjakan sendiri. Aku ingat ikan favoritku adalah mutiara ekor panjang yang pernah kulukis. Sampai sekarang kental sekali ingatanku akan ikan itu. Aku juga pernah punya oranda yang warna merah dan putihnya cemerlang sekali! Entah pikiranku yang membesar-besarkan keindahannya atau memang ikan seperti itu pernah ada, sampai sekarang aku jarang melihat warna seindah itu. Padahal belinya di pasar ikan murah-murah. Ketika ayahku mendapat rejeki dalam bisnisnya dan bisa membangun rumah baru, ia membuatkan sebuah kolam untukku. Itulah pertama kalinya aku punya kolam sendiri. Waktu itu aku belum mengerti tentang filter, jadi kolam itu tidak memiliki filter sama sekali. Dan setelah aku lulus kuliah, bekerja di Surabaya, diberi hadiah sebuah rumah, aku pun membuat sebuah kolam juga di rumah baruku. Agaknya aku tidak bisa hidup tanpa kehadiran sebuah kolam.

               Namun aku mengalami masalah.

               Kolamku keruh. Sekeruh pikiranku pada saat itu.

               Sudah kuupayakan segala cara yang aku bisa, tetap saja demikian. Aku sampai merasa putus asa. Setelah aku kuras, beberapa hari kemudian keruh lagi. Apakah ikan koki tidak boleh dicampur dengan ikan manfish? Rasanya bukan karena itu. Tiap hari aku lihat, apakah debu-debunya sudah mengendap dan kolamku sudah menjadi bening, tapi tak kunjung bening juga.

               Kebetulan pada saat itu aku baru lulus kuliah. Ketika aku melihat masa depanku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Keruh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dalam hidup ini. Aku tidak tahu bisnis yang diwariskan oleh ayahku ini apakah bisnis yang tepat untukku. Aku tidak tahu apakah pacarku ini calon istri yang tepat untukku. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu! Semua terasa begitu keruh! Aku berusaha menenangkan diriku. Aku mencoba mengendapkan semua debu pemikiran itu dalam batinku. Tapi dalam ziarah ke dalam itu, aku hanya menemukan sebuah kolam butek. Bertahun-tahun aku dalam kondisi seperti itu. Oh, betapa inginnya aku lari mencari kolam jedingan yang kulihat di masa kecilku itu dan duduk menikmati kebeningannya lagi! Mungkin dengan begitu semua kekeruhan dalam batinku akan berangsur-angsur menjadi jernih. Mungkinkah kekeruhan hatiku membuat kolamku tidak bisa bening?

               Aku terus berdoa. Aku terus memohon. Aku meminta batin yang bening dan pikiran yang jernih. Aku ingin dibebaskan dari rasa keruh hati ini. Aku pegang ayat yang mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan. Maka aku membaca banyak buku, mengikuti banyak seminar, dengan harapan bahwa aku akan menemukan kebenaran itu. Capek sekali hidup dalam kondisi keruh batin!

               Suatu saat aku browse internet, yang mana itu masih sebuah luxury di jaman itu. Aku menemukan artikel tentang sistem filter yang menirukan filtrasi di alam. Aku sangat tertarik. Dan aku mulai menerapkannya. Alhasil, kolamku pun menjadi bening! Aku harap ada suatu sistem atau cara seperti itu yang bisa kulakukan dan membuat batinku pun menjadi bening.

               Dalam kehidupan pribadiku, aku belajar untuk jujur pada diri sendiri. Aku menuliskan pikiran-pikiranku, perasaanku, dan apa saja yang ada dalam diriku dalam berlembar-lembar kertas dan berhalaman-halaman microsoft word. Aku harap ini membantuku menjernihkan pikiranku. Setiap akhir tahun aku melakukan tulisan refleksi atas diriku sendiri, dan membuat rencana-rencana pribadi. Dan seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal menjadi jelas bagiku. Sekarang, meski pikiran dan batinku belum sejernih dan sebening kristal, namun sudah banyak bagiannya yang menjadi terang. Dan aku bersyukur untuk itu. Sampai tahap tertentu, aku telah menemukan kebebasan jiwa.

               Batin yang bening. Ada yang peduli?

Hermanto 22 Mei 2018

Standard
kehidupan dalam air

Gairah untuk Mencipta

Kalimat yang kubaca dari buku itu terus menawan pikiranku.

“Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!”

Aku menghela nafas. Bangun pagi adalah urusan yang gampang-gampang sulit. Aku ingat betapa tidak menyenangkannya ketika waktu masih anak-anak aku terbangun karena ayahku pagi-pagi sudah menyetel radio. Aku masih ingin tidur sebentar lagi. Selimut itu terasa begitu nyaman, rasanya tak ingin berpisah dengannya seumur hidup. “Ayo, sudah waktunya mandi!” Duh, di kota Malang waktu itu airnya dingin, apalagi sepagi itu. Membayangkan dinginnya air itu saja sudah  membuat badan gemetar. Tidak! Bangun pagi bukanlah sesuatu yang menggairahkan!

Baru berpuluh-puluh tahun kemudian aku bisa menemukan gairah itu. Tiap jam 5 pagi, tidak peduli alarm bunyi atau tidak, aku pasti terbangun. Dan pikiranku langsung berjalan bagai sebuah mobil yang distarter di pagi hari. “Ikan apa yang hari ini bertelur?” Aku langsung beranjak dari tempat tidurku ketika istriku masih lelap, aku pergi ke kolam-kolamku, dan dalam keremangan fajar aku mengintip diam-diam ikan di kolam mana yang sedang bertelur. Ya, aku senang mengembang biakkan ikan mas koki, dan aku memiliki banyak kolam untuk memijahkan mereka. Tiap pagi, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Tidak ada rasa masih ingin tidur sejenak lagi seberapa pun larut aku tidur semalam. Aku harus segera mengurusi ikan-ikan yang bertelur ini. Aku bahkan tidak berpikir tentang gairah. Tapi, itulah gairah!

Apa yang membuatmu bergairah pagi ini?

Ketika aku pulang dari kolam, aku membangunkan anak-anakku dari tidurnya. Mereka harus sekolah. Aku melihat mereka bangun dengan rasa ogah. Kukatakan pada mereka, “Hal nomor satu yang harus kalian lakukan pada waktu bangun adalah … bukan sikat gigi, bukan merapikan selimut, … tapi tersenyum!” Dan dengan ogah-ogahan mereka menyeringai. Sama sekali tidak mirip sebuah senyum. Tapi aku mengerti. Aku yang tersenyum dalam hati. Bukankah bapaknya pun dulu juga ogah-ogahan ketika dibangunkan?

Buku yang kubaca itu menceritakan bahwa manusia adalah mahluk yang diciptakan untuk meniru Penciptanya. Istilah kerennya, Imago Dei. Lantas, apa yang dapat ditiru manusia dari sang Pencipta? Hal paling awal yang dilakukan oleh sang Pencipta adalah … jelas sekali, yaitu mencipta. Jadi kalau manusia hendak meniru PenciptaNya, maka terlibatlah dalam aktivitas mencipta. Begitu bangun pagi, pikirkan, apa yang akan kuciptakan hari ini? Begitu kira-kira alur pemikiran buku itu. Di situlah manusia menemukan gairahnya, yaitu ketika ia menyelaraskan diri dengan maksud PenciptaNya.

Menurutku, ini keren.

Memang sih, ada diskusi tentang apa arti mencipta, apa bedanya mencipta dan membuat, dan lain-lain. Aku tidak ambil pusing. Aku lebih berpikir tentang bagaimana menghidupi hal keren ini. Aku mau bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk mencipta!

Tapi, mencipta apa?

Aku bukan seorang musikus. Tidak mungkin menciptakan lagu. Aku bukan seorang ilmuwan. Tidak mungkin juga menghasilkan roket terbaru. Mungkin kalau aku seorang pengusaha parbrik, aku bisa memikirkan mencipta produk-produk baru. Sayang aku tidak punya pabrik. Apa yang bisa kucipta?

Apakah mencetak ikan koki varian baru termasuk mencipta? Aku suka menyilang-nyilangkan ikan koki untuk menghasilkan warna warni baru. Proyek eksperimenku yang sudah kuanggap selesai adalah mencetak panda ranchu, sebuah jenis yang langka, yang aku kerjakan lebih dari lima tahun. Aku juga menghasilkan ranchu berwarna coklat putih, sebuah warna yang jarang ada! Proyek paling baruku saat ini adalah mencetak oranda kuning, yang masih on progress. Aku sangat menikmati proses-proses ini, meski memakan waktu bertahun-tahun. Kalau kegiatan ini bisa dianggap sebagai bagian dari aktivitas mencipta, maka aku beruntung bisa bangun pagi tiap hari dan memikirkannya dengan bergairah, meski itu adalah hal yang sangat kecil ketimbang menemukan vaksin baru atau menghasilkan karya lukis sekelas Picasso.

Tapi bagaimana jika seseorang bahkan tidak punya benda materiil untuk dicipta seperti ikan mas koki? Apakah berarti mereka tidak bisa bangun pagi dengan gairah untuk mencipta? Apakah rekan2 karyawan yang tidak terlibat dalam bidang riset menjadi terdiskriminasi dari gairah Ilahi ini? Pikir punya pikir, saya kira tidak begitu. Masih ada hal-hal yang lebih esensial yang bisa diciptakan tanpa perlu apa-apa. Salah satunya adalah … menciptakan kebahagiaan bagi orang di sekelilingnya.

Bangun pagi setiap hari dengan gairah untuk menciptakan kebahagiaan! Ini semua orang bisa lakukan. Ini semudah bangun pagi dengan komitmen bahwa aku akan tersenyum dan menyapa setiap orang yang kujumpai hari ini. Atau bangun pagi dengan komitmen untuk membuat pasanganku senang hari ini. Tidak butuh modal besar! Cukup bondo senyum, atau tangan saja. Tangan? Ya, untuk memijat istri, atau untuk membuatkan secangkir teh hangat! Atau bangun pagi dengan gairah untuk menjadi sumber sumber solusi di kantor, atau penyebar pikiran positif di medsos! Bukankah a happy thought, with a bit of fairy dust, will make us fly?

Istriku suka berjualan. Apa saja dijualnya. Bangun pagi, yg membuatnya bergairah adalah memikirkan apa yang hendak dijualnya hari ini. Apakah menjual buah-buahan berkaitan dengan tindakan mencipta? Aku bilang iya. Menjual buah-buahan adalah bagian dari menciptakan budaya makan yang lebih sehat, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara jasmani, dan tentunya itu ada di hati Tuhan. Keren bukan? Jadi aku katakan pada istriku, juallah apa saja yang mau kau jual hari ini, asal bukan hatiku!

Selamat bergairah untuk mencipta!

Hermanto

17 Mei 2018

Standard